Saturday, October 20, 2012

Jadwal misa :

Metro - Hati Kudus Yesus Harian : 06.00 WIB
Metro Jumat Pertama : 18.00 WIB
  Sabtu : 18.00 WIB
  Minggu : 07.00 WIB

Wednesday, October 17, 2012

Sifat-sifat Gereja

31 05 2010 Sumber tulisan http://www.widiagung.co.cc/2009/03/sifat-sifat-gereja.html
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil dan dihimpun oleh Allah sendiri, oleh karena itu disadari pula bahwa Gereja adalah suatu persekutuan yang khas. Mulai dari jaman yang langsung menyusul era rasul, Gereja diyakini mempunyai keempat sifat yaitu:
  • Gereja itu “satu” karena Roh Kudus yang mempersatukan para anggota jemaat satu sama lain, dan juga dengan kepala jemaat yang kelihatan, yakni uskup; lagi pula mempersatukan para uskup satu sama lain dengan pusatnya di Roma.
  • Gereja itu “kudus” karena berkat Roh Kudus yang menjiwaiNya, Gereja bersatu dengan Tuhan, satu-satunya yang dari diriNya sendiri kudus.
  • Gereja itu “katolik”, “menyeluruh”, “am” atau “umum” karena tersebar di seluruh dunia sehingga mencakup semua.
  • Gereja itu “apostolik” karena warganya dikatakan “anggota umat Allah” jika bersatu dengan pusat-pusat Gereja yang mengakui diri sebagai tahta para Rasul (apostoloi), seperti Keuskupan Yerusalem (Yakobus), Antiokhia (Petrus), Roma (Petrus), Konstantinopel (Andreas).
Keempat sifat itu memang kait mengait, tetapi tidak merupakan rumus yang siap pakai. Gereja memahaminya dengan merefleksikan dirinya sendiri dengan karya Roh Kudus di dalam dirinya. Gereja itu Ilahi sekaligus insane, berasal dari Yesus dan berkembang dalam sejarah. Gereja itu bersifat dinamis, tidak sekali jadi dan statis, oleh karena itu sifat-sifat Gereja tersebut harus selalu diperjuangkan.
A. Gereja Kristus yang Satu
1. Arti Gereja yang Satu
Gereja yang satu: Gereja yang tampak sebagai perwujudan kehendak tunggal Yesus Kristus untuk dalam Roh Kudus tetap hadir kini di tengah manusia untuk menyelamatkan (LG 8)
Kesatuan Gereja pertama-tama dinyatakan dalam kesatuan iman (lih. Ef 4:3-6) yang mungkin dirumuskan dan diungkapkan secara berbeda-beda. Kessatuan juga dalam satu Injil, satu babtisan, dan satu jabatan yang dikaruniakan kepda Petrus dan kedua belas rasul. Kesatuan yang hakiki dan konkret diungkapkan oleh Paulus dalam model “tubuh”: Tubuh itu dibentuk dengan babtis dan diaktualisasikan dengan Prayaan Pemecahan Roti (1Kor 10:17).
Kesatuan tidak sama dengan keseragaman sebagai “Bhineka Tunggal Ika”, baik dalam Gereja Katolik sendiri maupun dalam persekutuan ekumenis, sebab kesatuan Gereja bukanlah semacam kekompakan organisasi atau kerukunan social. Yang utama bukan soal struktur organisasi yang lebih bersifat lahiriah, tetapi Injil Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan dilaksanakan di dalam hidup sehari-hari.
Kristus memang mengangkat Petrus menjadi katua para rasul, supaya kolegialitas para rasul tetap satu dan tidak terbagi. Di dalam diri Petrus, Kristus menetapkan asas dan dasar kesatuan iman serta persekutuan yang tetap kelihatan. Kesatuan ini tidak boleh dilihat pertama-tama secara universal. Tidak hanya Paus tetapi masing-masing uskup (pemimpin Gereja lokal) menjadi asas dan dasar yang kelihatan dari kesatuan dalam Gereja.
Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi pihak lain disadari pula bahwa perwujudan konkret harus diperjuangkan dan dikembangkan serta disempurnakan terus menerus. Oleh karena itu kesatuan iman mendorong semua orang Kristen supaya mencari “persekutuan” dengan semua saudara seiman.
Singkat kata, Gereja yang satu itu terungkap dalam:
  • Kesatuan iman para anggotanya: kesatuan iman ini bukan kesatuan yang statis, tetapi kesatuan yang dinamis. Iman adala prinsip kesatuan batiniah Gereja.
  • Kesatuan dalam pimpinannya (hierarkis): hierarki mempunyai tugas untuk mempersatukan umat. Hierarki sering dilihat sebagai prinsip kesatuan lahiriah dari Gereja.
  • Kesatuan dalam kebaktian dan kehidupan sacramental: kebaktian dan sakramen-sakramen merupakan ekspresi simbolis kesatuan Gereja itu (Ef 4:3-6).
2. Memperjuangkan kesatuan Gereja
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa “pola dan prinsip terluhur misteri kesatuan Gereja adalah kesatuan Allah yang Tunggal dalam tiga pribadi Bapa, Putra dan Roh Kudus” (UR 2). Tatapi, bagaimana kesatuan Ilahi itu diwujudkan secara insane, merupakan pertanyaan yang amat besar.
Kenyataannya, perpecahan dan pemisahan terjadi di dalam Gereja. Memang “Allah telah berkenan menghimpun orang-orng yang beriman akan Kristus menjadi Umat Allah dan membuat mereka menjadi satu Tubuh. Tetapi, bagaimana rencana Allah itu dilaksanakan oleh manusia Kristen? Perpecahan dan keretakan yang terjadi dalam Gereja tentu saja disebabkan oleh perbuatan manusia. Tata susunan sosial Gereja yang tampak melambangkan kesatuannya dengan Kristus (GS 44). Tetapi justru struktur sosial itu sekaligus membedakan (memisahkan) Gereja yang satu dengan yang lain. Umat Kristen kelihatan terpecah belah, justru karena struktur-struktur yang mau menyatakan kesatuan masing-masing kelompok itu. Meski demikian, hamper semua, kendati melalui aneka cara, mencita-citakan satu Gereja yang kelihatan, yang sungguh bersifat universal dan diutus ke seluruh dunia (UR1). Di satu pihak, diimani bahwa Kristus akan tetap mempersatukan Gereja, tetapi di pihak laindisadari bahwa perwujudan konkret harus berkembang dan disempurnakan terus-menerus. Oleh karena itu, kesatuan iman mendorong umat Kristen supaya mencari “persekutuan” (communion) dengan semua saudara dalam iman, walaupun bentuk organisasinya mungkin masih jauh dari kesatuan sempurna.
Kesatuan Gereja pertama-tama harus diwujudkan dalam persekutuan konkret antara umat beriman yang hidup bersama dalam satu Negara atau daerah yang sama. Tuntutan zaman dan tantangan masyarakat merupakan dorongan kuat untuk menggalang kesatuan iman dalam menghadapi tugas bersama. Kesatuan Gereja terarah kepada kesatuan yang jauh melampaui batas-batas Gereja dan terarah kepada semua orang yang “berseru kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2 Tim 2:22)
Semangat kesatuan harus dipupuk dan diperjuangkan oleh setiap umat Kristen sendiri. Usaha yang dapat digalakkan untuk memperkuat persatuan “ke dalam” misalnya:
  • aktif dalam kehidupan Gereja,
  • setia dan taat pada persekutuan umat termasuk hierarki, dsb.
Sedangkan untuk menggalakkan persatuan “antar-Gereja” misalnya
  • lebih bersifat jujur dan terbuka satu sama lain, lebih melihatkan kesamaan daripada perbedaan,
  • mengadakan berbagai kegiatan sosial maupun peribadatan bersama, dsb.
Kesatuan Gereja tidak identik dengan uniformitas. Kesatuan Gereja di luar bidang esensial Injili memungkinkan keanekaragaman. Kesatuan harus lebih tampak dalam keanekaragaman.
B. Gereja Kristus yang Kudus
1. Arti Gereja yang Kudus
Gereja yang kudus berarti Gereja menjadi perwujudan kehendak Allah yang Mahakudus untuk sekarang juga mau bersatu dengan manusia dan mempersatukan manusia dalam kekudusanNya (bdk LG 8,39,41 dan 48).
Gereja yang kudus itu dipandang sebagai tanda Gereja yang benar. Bahkan sebelum rumusan Syahadat dikenal, orang telah menyebut Gereja sebagai ‘yang kudus”. Hal itu menentukan sikap terhadap para pendosa.
Secara obyektif sifat “kudus” berarti bahwa dalam Gereja adalah sarana keselamatan dan rahmat Tuhan di dunia serta merupakan tanda rahmat yang kudus, yang akan menang secara definitif pada akhir jaman.
Secara subyektif sifat “kudus” berarti bahwa Gereja tak akan kehabisan tanda dan orang kudus (bdk. Ibr 2:1), jadi menyangkut kekudusan subyeknya.
Ajaran ini dipahami bersama dengan ajaran iman bahwa para pendosa itupun anggota Gereja sehingga Gereja tak hanya ada pendosa tetapi adalah pendosa sejauh warganya dan pemukanya memang para pendosa yang masih berdosa dan akan berdosa. Itulah mengapa Gereja harus senantiasa menguduskan diri dengan memperbarui terus menerus (UR 4:6)
Lalu sifat “kudus” juga berarti bahwa Gereja yang dinodai oleh dosa itu tak akan sebegitu dirusak oleh dosa sampai Roh Kudus sama sekali meninggalkan Gereja atau tak kelihatan lagi (Mat 16:18). Sebab, Gereja dijamin Tuhan untuk tak sampai kehilangan rahmatNya kendati berdosa. Dan Roh Kudus itu sendirilah yang akan menjadi jiwa Gereja, sehingga kekudusan tidak tergantung pada anggota Gereja melainkan pada Roh Kudus yang menjadi sumber kekudusan Gereja. Itulah mengapa St. Paulus berkata “atau tidak tahukah kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik kamu sendiri?” (1 Kor 6:19).
Gereja itu kudus karena sumber dari mana ia berasal, karena tujuan ke mana ia diarahkan, dan karena unsure-unsur Ilahi yang otentik di dalamnya adalah kudus.
  • Sumber dari mana gereja berasal adalah kudus. Gereja didirikan oleh Kristus. Gereja menerima kekudusannya dari Kristus atas doa-doaNya (lih Yoh 17:11).
  • Tujuan dan arah Gereja dalah kudus. Gereja bertujuan untuk kemuliaan Allah dan penyelamatan umat manusia
  • Jiwa Gereja adalah kudus, sebab jiwa gereja adalah Roh Kudus sendiri
  • Unsur-unsur Ilahi yang otentik di dalam Gereja adalah kudus, seperti ajaran-ajaran dan sakramen-sakramen
  • Anggotanya adalah kudus, karena ditandai oleh Kristus melalui pembabtisan dan diserhakan kepada Kristus serta dipersatukan dalam iman, harapan, dan cinta yang kudus. Semua itu tidak berarti bahwa anggotanya selalu kudus (suci), namun ada juga yang mencapai kekudusan heroik. Semua dipanggil untuk kekudusan.
2. Memperjuangkan Kekudusan Gereja
Kekudusan Gereja dijelaskan dalam Konstitusi Lumen Gentium. Dikatakan bahwa “Kita mengimani bahwa Gereja tidak akan kehilangan kesuciannya, sebab, Kristus Putra Allah, yang bersama dengan Bapa dan Roh Kudus dipuji bahwa hanya Dialah kudus, mengasihi Gereja sebagai MempelaiNya” (LG 9). Gereja itu kudus karena kristus, Kepala gereja, membuatnya (anggotanya yang tetap berdosa) kudus.
Kekudusan juga terungkap dengan “aneka cara pada masing-masing orang”. Kekudusan Gereja bukanlah suatu sifat yang seragam, yang sama bentuknya untuk semua, melainkan semua mengambil bagian dalam satu kesucian Gereja, yang berasal dari Kristus, yang mengikut sertakan Gereja dalam GerakanNya kepada Bapa ole Roh Kudus. Pada taraf misteri Ilahi, Gereja sudah suci: “Di dunia ini, Gereja sudah ditandai oleh kesucian yang sesungguhnya, meskipun belum sempurna” (LG 48). Ketidaksempurnaan ini menyangkut pelaksanaan insani, sama seperti kesatuannya
Dalam hal kekudusan yang pokok bukan bentuk pelaksanaannya, melainkan sikap dasarnya. Kudus diartikan sebagai “yang dikuduskan Tuhan”. Jadi, pertama-tama “kudus” itu menyangkut seluruh bidang sacral dan keagamaan. Yang suci bukan hanya tempat, waktu, barang yang dikuduskan Tuhan atau orang, tetapi yang kudus itu Tuhan sendiri. Semua yang lain, barang maupun orang yang disebut “kudus” karena termasuk lingkup kehidupan Tuhan
Kekudusan tidak datang dari Gereja, tetapi dari Allah yang mempersatukan Gereja dengan Kristus dalam Roh Kudus. Gereja disebut kudus karena Kristus sebagai kepala menguduskan anggotaNya. Jadi, kekudusan Gereja tidak terutama diartikan secara moral, tetapi secara teologial, meyangkut keberadaan dalam lingkup hidup Allah. Anggota Gereja adalah “orang kudus” yang dipanggil untuk hidup secara kudus di tengah-tengah dunia yang tidak mengindahkan Yang Mahakudus. Gereja adalah milik Allah (1Ptr 2:9) dan karenanya kehendak Ilahi harus ditaati di dalam Gereja dan oleh anggotanya.
Usaha yang dapat diperjuangkan menyangkut kekudusan anggota-anggota Gereja, misalnya:
  • saling memberi kesaksian untuk hidup sebagai putra-putri Allah
  • memperkenalkan anggota-anggota Gereja yang sudah hidup secara heroic untuk mencapai kekudusan
  • merenungkan dan mendalami Kitab Suci, khususnya ajaran dan hidup Yesus, yang merupakan pedoman dan arah hidup kita, dsb
C. Gereja yang Katolik
1. Arti dan Makna Gereja yang Katolik
Secara harafiah, kata “katolik” menunjukkan Gereja yang berkembang “di seluruh dunia”. Memang benar, Gereja tersebar ke mana-mana, namun tidak benar bahwa tidak ada tempat yang tidak ada Gereja. Dalam bahasa Yunani “katolik” berarti menyeluruh atau umum. Ignatius dari Antiokhia yang pertama kali menggunakan istilah ini, mengatakan bahwa “di mana ada uskup, di situ ada jemaat, seperti di mana ada Kristus, di situ ada Gereja “katolik”. Hai ini mau mengatakan bahwa dalam perayaan Ekaristi, yang dipimpin oleh uskup, hadir bukan hanya untuk jemaat setempat tatapi juga selurug Gereja. Jadi, gagasan pokok bukanlah bahwa Gereja telah tersebar ke seuruh dunia, melainkan bahwa dalam setiap jemaat setempat hadirlah Gereja seluruhnya.
Gereja selalu lengkap atau penuh, artinya tidak ada Gereja setengah-setengah atau sebagian. Gereja setempat (paroki, stasi) bukanlah “cabang” Gereja universal. Setiap Gereja setempat, bahkan setiap perkumpulan orang beriman yang sah, merupakan seluruh Gereja.
Selanjutnya, kata “katolik” dipakai untuk menyebut Gereja yang benar, Gereja universal yang dilawankan dengan sekte-sekte. Kata katolik tidak hanya mempunyai arti geografis (tersebar ke seluruh dunia), tetapi juga “menyeluruh”, dalam arti “lengkap” berkaitan dengan ajarannya, serta “terbuka” dalam arti tertuju kepada siapa saja.
Pada jaman Reformasi, kata “katolik” muncul lagi untuk membedakan dengan Gereja-gereja Protestan. Sejak itu, kata “katolik” secara khusus dimaksudkan umat Kristen yang mengakui Paus sebagai pemimpin Gereja universal.
Dalam syahadat kata “katolik” masih mempunyai arti “universal” atau “umum”. Ternyata “universal” pun mempunyai dua arti, yang kuantitatif dan kualitatif:
Segi kuantitatif adalah faktor geografis, yang mana memperoleh warganya dari semua bangsa dan hidup di tengah segala bangsa. Gereja sebagai sakramen Roh Kudus mempunyai pengaruh dan daya pengudus yang tidak terbatas pada anggota Gereja saja, melainkan juga terarah pada dunia. Dengan sifat katolik ini dimaksudkan bahwa Gereja mampu mengatasi keterbatasannya sendiri untuk berkiprah ke seluruh dunia.
Segi kualitatif, karena ajarannya dapat diwartakan kepada segenap bangsa dan segala harta kekayaan bangsa-bangsa dapat ditampungnya sejauh itu baik dan luhur. Gereja terbuka, menampung dan memajukan terhadap segenap kemampuan, kekayaan, dan adat istiadat bangsa-bangsa. Tidak hanya menampung dan menerima saja melainkan juga menjiwai seluruh dunia. Yang hadir di mana-mana serta mengangkat segala kekayaan umat manusia sesungguhnya bukan Gereja melainkan Roh yang berkarya dalam dan melalui Gereja. Dalam hal ini tidak ada sesuatu pun yang tidak diterima Gereja.
Singkatnya, Gereja bersifat katolik karena terbuka bagi dunia, tidak sebatas pada tempat tertentu, bangsa dan kebudayaan tertentu, waktu dan golongan masyarakat tertentu. Kekatolikan Gereja tampak dalam:
  • rahmat dan keselamatan yang ditawarkan,
  • iman dan ajaran Gereja yang bersifat umum (dapat diterima dan dihayati siapapun)
2. Mewujudkan kekatolikan Gereja
Gereja bersifat universal, umum dan terbuka. Oleh sebab itu perlu diusahakan antara lain
Sikap terbuka dan menghormati kebudayaan, adat istiadat bahkan agama bangsa manapun.
Bekerja sama dengan pihak mana saja yang berkehndak baik dalam mewujudkan nilai-nilai yang luhur di dunia ini.
Selalu berusaha untuk memprakarsai dan memperjuangkan suatu dunia yang baik untuk umat manusia.
Untuk setiap orang kristiani diharapkan memiliki jiwa yang besar dan keterlibatan penuh dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat member kesaksian bahwa “katolik” artinya terbuka untuk apa saja yang baik dan siapa saja yang berkehendak baik.
Kekatolikan Gereja tidak berarti bahwa Gereja meleburkan diri kedalam dunia. Dalam keterbukaan itu, Gereja tetap mempertahankan identitas dirinya. Kekatolikan justru terbukti dengan kenyataan bahwa identitas Gereja tidak tergantung pada bentuk lahiriah tertentu, melainkan identitas yang bersifat dinamis, yang selalu di mana-mana dapat mempertahankan diri, bagaimanapun juga bentuk pelaksanaannya. Kekatolikan Gereja bersumber dari firman Tuhan sendiri (lih. Mrk 16:16; Luk 10:16)
D. Gereja yang Apostolik
1. Arti Gereja yang apostolik
Apostolik berasal dari kata Yunani, “ApostellO” (mengutus, menguasakan) yang berate utusan, suruhan, wakil resmi yang diserahi misi tertentu. Kata “apostolic” kemudian dipaki untuk menyebut para rasul. Gereja yang apostolik berarti bahwa Gereja yang berasal dari para rasul, dan tetao berpegang teguh pada kesaksian iman mereka. Kesadaran bahwa Gereja dibangun atas dasar para rasul dengan Kristus ebagai batu penjuru, sudah ada sejak jaman Gereja perdana.
Gereja katolik dalam hubungan dengan para rasul lebih mementingkan pewartaan lisan, memusatkan perhatian pada hubungan historis, turun temurun, antara para rasul dan para pengganti mereka, yakni para uskup. Hubungan ini tidak boleh dilihat semacam “estafet”, yang di dalamnya ajaran yang benar bagaikan sebuah tongkat dari rasul-rasul tertentu diteruskan sampai kepada uskup sekarang. Yang disebut apostolik bukanlah para uskup, melainkan Gereja. Hubungan historis ini pertama-tama menyangkut seluruh Gereja dalam segala bidang dan pelayanannya.
Gereja bersifat apostolik berarti Gereja mengakui diri sama dengan Gereja Perdana, yakni Gereja para rasul. Hubungan historis ini tidak dimengerti sebagai pergantian orang, melainkan segala kelangsungan iman dan pengakuan.
Sifat apostolik juga tidak berarti bahwa Gereja hanya mengulang-ulang apa yang sejak dahulu diajarkan dan dilakukan Gereja. Keapostolikannya berarti bahwa dalam perkembangan hidup, tergerak oleh Roh Kudus, dan Gereja senatiasa berpegang pada Gereja para rasul sebagai norma imannya. Gereja selalu membaharui dan menyegarkan dirinya. Sifat apostolik harus mencegah Gereja dari rutinisme yang bersifat ikut-ikutan. Dalam hal ini, seluruh Gereja tidak hanya bertanggung jawab atas ajaran Gereja, tetapi juga dalam pelayanannya.
Singkatnya, Gereja disebut apostolic karena Gereja berhubungan dengan para rasul yang diutus Kristus. Hubungan itu tampak dalam:
  • Legimitasi fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul. Fungsi dan kuasa hierarki dari para rasul.
  • Ajaran-ajaran Gereja diturunkan dan berasal dari kesaksian para rasul
  • Ibadat dan struktur Gereja pada dasarnya berasal dari para rasul.
2. Mewujudkan keapostolikan Gereja
Keapostolikan Gereja tidak berarti Gereja sekarang hanya merupakan copyan dari Gereja para rasul. Gereja sekrang hanya terarah kepada gereja para rasul sebagai dasar dan permulaan imannya. Karena pewartaan para rasul dan penghayatan iman mereka terungkap dalam Kitab Suci, maka sifat keapostolikan gereja akan tampak terutama dalam kesetiaan kepada Injil. Kesatuan dengan Gereja purba adalah kesatuan hidup, yang pusatnya adaah Kitab Suci dan Tradisi. Secara konkret, tradisi selalu merupakan konfrontasi terus-menerus antara situasi gereja sepanjang masa dan pewartaan Kitab Suci. Gereja harus senantiasa menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret berpangkal pada sikap iman Gereja para rasul.
Jadi usaha untuk keapostolikan Gereja, antara lain:
  • Setia dan mempelajari Injil, sebab Injil merupakan iman Gereja para rasul.
  • Menafsirkan dan mengevaluasi situasi konkret dengan iman Gereja para rasul
  • Setia dan loyal kepada hiararki sebagai pengganti para rasul
Sumber:
1. Iman Katolik
2. Seri Murid-murid Yesus
3. Dewasa dalam Penghayatan Iman

RD. Andreas Sutrisno


Berpastoral:
Usaha Membangun Relasi Hidup
Romo Sutris, demikian panggilan untuk Rm. Andreas Sutrisno yang menjadi profil imam kali ini. Ia saat ini bertugas di Paroki Hati Kudus Metro. Ia lahir di Sriwaylangsep, Kec. Kalirejo, Lampung Tengah pada 22 Juni 1971. Imam diosesan Keuskupan Tanjungkarang ini sebenarnya bukan berasal dari keluarga Katolik. Ia bersama dua saudara-saudari kandungnya sejak kecil sudah ikut kegiatan di gereja meskipun belum di baptis. Ekaristi dan ibadat sabda, misdinar dan Legio Mariae sudah rajin dia ikuti. Bahkan wulangan (pelajaran agama mingguan) dan sembayangan kring sudah dia ikuti.
Ialah orang yang pertama kali dibaptis dalam keluarganya ketika masih duduk di bangku SD kelas 5 (22-12-1984). Kemudian disusul kedua kakaknya setahun kemudian di Pringsewu dan di Yogyakarta. Kedua orang tuanya baru dibaptis pada tahun 2000.
Ia mengaku ketika kecil terselip keinginan untuk menjadi imam, namun hal itu ia pendam tanpa bercerita kepada siapapun. Angan-angan menjadi seorang imam mengalami pasang surut, bahkan kabur sama sekali karena terpengaruh cita-cita hendak menjadi ahli di bidang pertanian atau keinginan menjadi guru. Hingga pada awal Desember 1992, saat ia kelas tiga di SMA Xaverius Pringsewu, di gereja diumumkan pendaftaran bagi calon seminari di Palembang. Ia memberanikan diri menemui Rm. Ciptaharsaya, SCJ (alm), yang waktu itu adalah pastor paroki Pringsewu.
Rm. Cip memberikan blangko pendaftaran sekaligus menyarankan untuk memberitahukan niatnya kepada orang tua. Sutris remaja pun akhirnya meminta orang tuanya untuk mengisi lembar persetujuan orang tua. Tak banyak diskusi waktu itu. Ia tidak memberi banyak kesempatan bagi orang tuanya untuk mempertimbangkan niatnya.
Ayahnya waktu itu menanyakan, ”kakak dan mbakmu, kami kuliahkan, apakah kamu tidak iri atau menyesal kalau bapak dan mamak tidak menyekolahkan kamu?” Dengan cepat ia menjawab “tidak”. Ayahnya akhirnya mengijinkannya dengan mengatakan, “kalau itu sudah keinginan dan keputusanmu, maka bapak-mamakmu  mendukung saja, silahkan kamu masuk seminari.” Demikian kenang Rm. Sutris.
Karena keluarganya dulu bukan Katolik, maka Rm. Sutris dalam keluarga tidak merasakan suasana didikan iman Katolik. Ia mencari sendiri pendidikan iman dalam kegiatan gereja. Bersama teman-temannya, ia aktif mengikuti kegiatan kegerejaan seperti doa lingkungan, pelajaran agama, misdinar dan Legio Mariae. Pada masa kecilnya, di Paroki Kalirejo masih dilaksanakan kemah putra-putri altar separoki. Rm. Sutris tak pernah melewatkan kegiatan tahunan itu.
Rm. Sutris mengaku bahwa orang tuanya menanamkan pendidikan bagi anak-anaknya dalam suasana keluarga yang sederhana dan harmonis. Karena anak-anak memilih mengikuti kegiatan menggereja, maka orang tua tidak menanamkan nilai-nilai agama yang mereka anut. Nilai-nilai kemanusiaan, seperti kebaikan dan sopan santun atau budi pekerti, sangat ditekankan oleh kedua orang tuanya. Hal inilah yang turut membentuk kepribadiannya saat ini. Hal lain yang ikut mendukung iman dan panggilannya adalah baptisan yang juga diterima oleh kedua saudaranya. Bahkan semakin mendapat dukungan iman manakala kedua orang tuanya menerima baptisan juga.
Romo yang ditahbiskan di Katedral Tanjungkarang pada 22 Februari 2003 ini mendapatkan kesan tersendiri dalam pelayanan parokialnya. Kesan umum yang ia tangkap dari umat tentang imam adalah tugas imam sebagai pelayan sakramen. Pandangan seperti ini menyebabkan cap negatif ‘malas’ terhadap imam yang tidak memimpin misa tiap hari. Menurutnya, tugas seorang imam tidak boleh dipersempit hanya pada pelayanan sakramental. Imam juga sepenuhnya harus memperhatikan bidang pelayanan yang lebih luas, seperti berkatekese guna meningkatkan pengetahuan iman umat.
“Pengalaman selama ini dengan mengadakan kunjungan dalam kelompok-kelompok kecil , banyak hal  kerinduan, harapan dan keinginan umat yang diungkapkan. Sebenarnya umat membutuh kebersamaan yang nyata dan konkrit dengan romonya; menjadi teman seperjalanan dalam hidup dalam menghayati iman. Sehingga kalau dekat dengan romonya, mau bicara sekedar ngobrol atau berkeluh kesah ada suasanya yang nyaman. Karena tidak dalam suasana yang kaku, sehingga tidak ada lagi pendapat umum atau kesan umat bahwa umat datang kepada romo hanya kalau ada masalah.” Demikian papar Rm. Sutris.
Ia menandaskan bahwa pastoral parokial bukanlah semata menjalankan program dan melayani sakramen saja. Hal ini bukan berarti bahwa program pelayanan dan pelayanan sakramental tidak penting. Kebersamaan perlu dibangun antara imam dengan umat. Dengan komunikasi bersama, maka pelayanan sakramental dan pelaksanaan program pelayanan di paroki akan memiliki dasar yang kuat serta tercapai tujuan agar iman umat semakin mendalam. Inilah yang disebutnya sebagai perayaan iman baik dalam sakramen, maupun dalam hidup bersama. Dengan paham perayaan iman, orang tidak akan merasa terpaksa dalam mengikuti kegiatan apapun.
Akhir-akhir ini sudah dimunculkan rencana untuk mengadakan Pertemuan pastoral gereja partikular (Perpasgelar/sinode keuskupan). Hal pertama yang dilakukan adalah melihat kembali visi-misi keuskupan yang diperbaharui hampir sepuluh tahun yang lalu.
Rm. Sutris menyitir kata-kata Bapa Uskup saat khotbah pembukaan Perpasgelar II, pada 19 Agustus 2002, “… Pastoral itu usaha membangun relasi hidup. Hidup manusia itu bukan obyek, melainkakan subyek. Kita diharapakan peka terhadap kehidupan.” Menurut Rm. Sutris, ungkapan Bapa Uskup tentang pastoral ini begitu luas dan umum, serta tidak mudah dipahami. Ia memaklumi kalau ada penilaian bahwa pastoral keuskupan Tanjungkarang tidak jelas.
“Kalau kita memahami pastoral itu lebih sebagai kegiatan atau program, kita akan kesulitan untuk memahami visi-misa keuskupan Tanjukarang. Karena visi-misi keuskupan  Tanjukarang bukanlah seperangkat program-program kerja yang siap pakai. Namun visi-misi keukupan kita berupa suatu pegangan/pedoman yang menjadikan kerangka pikir, kerangka tindak/berbuat dan pendekatan dalam melayani umat. Ini tidak gampang untuk di mengerti. Sehingga benar kalau ada romo atau umat sampai sekarang sulit untuk paham betul mengenai visi-misa keuskupan kita. Hal ini kemudian menyebabkan ada kesan bahwa visi-misi keuskupan hanya dimengerti oleh uskup saja”, Paparnya.
Rm. Sutris mengungkapkan bahwa pastoral di keuskupan ini harus dipahami sebagai peziarahan menuju Sang Pastor sejati, yakni Kristus sendiri. Karena peziarahan, maka harus diisi dengan usaha berjalan bersama. Semua orang beriman adalah subyek pelaku yang sedang berziarah menuju Kristus. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana peziarahan itu diisi dan dihayati dalam kebersamaan. Dengan pertanyaan inilah maka kemudian akan dipahami bahwa pastoral menjadi suatu usaha untuk membangun relasi hidup.
Kerangka pikir inilah yang disebut Rm. Sutris sebagai paradigma yang harus dijabarkan dengan melihat situasi-kondisi setempat agar dapat membangun relasi hidup yang benar. Menurutnya, membangun relasi hidup dengan Tuhan, sesama dan dunia harus dijiwai oleh semangat keterbukaan, dialog, memasyarakat dan menghargai nilai-nilai kebaikan yang berkembang dalam kehidupan.
Pastoral tetaplah membutuhkan kehadiran imam, namun bukan sekedar dalam pelayanan sakramental di gedung gereja. Kehadiran imam ada dalam kebersamaan dengan seluruh umat. Imam bertindak dalam kebersamaan itu untuk menuntun, merangkul dan mendorong agar peziarahan mencapai tujuan bersama. Menurut pengalaman Rm. Sutris, kerinduan dan harapan umat justru banyak diungkapkan  saat duduk bersama dalam suasana informal. Pada kunjungan kelompok kecil akan tercipta suasana kekeluargaan yang rileks sehingga akan tercipta pula komunikasi dari hati ke hati. Siatuasi ini bisa didapatkan dalam suasana makan bersama atau kesempatan ketika menginap di rumah umat. Dari komunikasi yang sangat manusiawi inilah akan didapat inti harapan umat sehingga program kegiatan dapat dibuat untuk menjawab kerinduan itu dengan tetap berdasar pada visi-misi keuskupan.
Rencana Perpasgelar ketiga sudah gencar di kalangan imam di keuskupan ini. Rm. Sutris menjelaskan bahwa persiapan Perpasgelar dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dilaksanakan untuk melihat sejauh mana para imam yang berkarya di keuskupan ini sudah memahami kasih atau semangat dalam perpasgelar II (2002). Konveniat atau pertemuan imam sekeuskupan akan dipakai untuk persiapan ini. Pada konveniat bulan Juni yang lalu sudah dipakai untuk melihat pastoral yang dilaksanakan di paroki Kedaton, Kota Bumi dan Baradatu. Rm. Sutris sendiri tidak mengikuti konveniat itu karena sedang cuti. Namun menurut informasi yang diperolehnya, pemaparan pastoral belum mencerminkan pastoral sebagai hasil perpasgelar II. Bahkan ada romo yang menilai seperti kembali ke masa dulu ketika masa Rencana Kerja Pastoral Keuskupan (RKPK) karena bicara soal program yang dilaksanakan.
Rm. Sutris mengakui bahwa kebanyakan yang berkarya di keuskupan Tanjungkarang saat ini adalah imam muda yang tidak mengalami proses Perpasgelar II. Ada dokumen tentang Perpasgelar II, namun diakuinya tidak mudah dipahami. Menurutnya, untuk mengerti dan memahami dokumen-dokumen perpasgelar II tidak mudah, apalagi menjalankannya dalam pastoral di paroki.
Rm. Sutris mengungkapkan bahwa Tim Perpasgelar III harus mendengarkan pengalaman pastoral semua romo yang berkarya di keuskupan Tanjungkarang. Misalnya, semua romo membuat releksi dan saat konveniat menjelaskannya di hadapan semua romo. Atau bisa juga dengan mewawancarai tiap romo. Dengan cara inilah tim akan mendapatkan gambaran yang kurang lebih lengkap tentang situasi pastoral di keuskupan ini dan kemudian baru disusun langkah-langkahnya.
“Pernah ada romo senior yang berbagi pengalaman; perpasgelar untuk keuskupan sebenarnya lebih cokok kalau untuk para romo saja. Umat tidak perlu diikutkan, karena kalau para romonya sudah tahu betul mengenai semangat/roh dari perpasgelar II, nantinya romo itu yang akan ber-perpasgelar di parokinya dengan umat. Mungkin baik juga kalau usulan ini di pertimbangkan oleh tim perpasgelar III. Jadi perpasgelar III hanya untuk para romo saja.” Demikian usul Rm. Sutris.
Salah satu langkah dalam berpastoral adalah usaha untuk melihat wajah kristus dalam kebersamaan hidup bermasyarakat. Hal ini dapat disebut sebagai usaha untuk melihat konteks pastoral dalam masyarakat sehingga mampu menawarkan cinta Kristus di dalamnya. Poin persaudaraan sejati dan memasyarakat dari hasil perpasgelar mengarah dalam konteks menemukan dan menampilkan wajah Kristus dalam kebersamaan masyarakat.
Dalam hal ini Rm. Sutris mengungkapkan,  “Dari informasi atau menyaksikan sendiri, sebenarnya banyak umat Katolik yang sudah berusaha untuk membangun persaudaraan sejati dengan masyarakan.  Persaudaraan dengan orang beragama lain, bisa terbentuk kalau ada keprihatinan yang sama, contoh tentang ekonomi. Dari keprihatinan ini: 1) terbentuk kopdit atau juga UB (usaha bersama) simpan-pinjam uang. Di keuskupan kita ini, harus diakui bahwa kopdit /UB yang dikelola oleh orang katolik masih di percaya oleh masyarakat. Orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama bisa bersatu-bersaudara. Mereka tidak mempersoalkan agama, tapi mereka mempersoalan kesejahteraan hidup. Disini ada dialog hidup, relasi yang hidup dan menghidupkan. 2) kelompok tani, di Metro ada kelompok tani yang disponsori oleh orang katolik. Kelompok ini sudah ada cukup lama, tapi masih eksis, bahkan asetnya kalau ditotal bisa ratusan juta. Kelompok ini bersifat lintas agama. Disini orang dapat hidup bersama, untuk membangun pertanian yang baik. Dari kelompok ini ada sebagian anggotanya sedang mengembangan pertanian organik. Pertanian organik juga bisa menjadi sarana membangun persaudaraan sejati,” demikian paparnya.
Baru-baru ini Rm. Sutris ikut dalam pertemuan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan yang diprakarsai oleh bagian Justice and Peace, Keukupan Tanjungkarang.  Rm. Sutris berpendapat, “Prinsip aksi tanpa kekerasan, menurut saya bukan sekedar berlaku tapi justru  harus menjadi semangat atau spirituaslitas iman kita. Yesus sendiri adalah tokoh aksi tanpa kekerasan. Dalam ajaranya tentang menampar pipi, disitu terkandung semangat aksi tanpa kekerasan.”
Tidaklah mudah untuk membangun semangat aksi tanpa kekerasan. Rm. Sutris menegaskan bahwa sikap dasarnya adalah semangat mengampuni. Yesus sendiri mengatakan bahwa kita harus mengapuni sebanyak tujuhpuluh kali tujuh kali, artinya mengampuni tanpa batas. Yesus sendiri memberi teladan dengan mengampuni orang-orang yang telah menyalibkan-Nya, “ Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan” (Luk 23:34). ***(Jokunti)

Tuesday, October 16, 2012




Sejarah Singkat Perkembangan Misi Di Propinsi Lampung

 Sejarah Keuskupan Tanjungkarang sebenarnya dimulai pada 16 Desember 1928, di mana pada waktu itu Pastor H.J.D van Oort, SCJ tiba di Tanjungkarang dan mulai tinggal di sana. Mengenai perkembangan Gerja Katolik sebelum 1928 tidak begitu jelas. Tetapi, bagaimanapun ada fakta bahwa ada beberapa keluarga Katolik yang tinggal di daerah Lampung.

Sebagaimana diketahui bahwa Propinsi Lampung terletak di daratan Pulau Sumatera paling selatan dengan pusat kotanya, Tanjungkarang (Sekarang: Bandar Lampung). Tanjungkarang jaraknya kurang lebih 5 km dari Teluk Betung, di mana dulu di situ digunakan oleh Pemerintah Belanda sebagai tempat tinggal dengan sejumlah pekerja orang-orang Katolik.

Sejak pastor H.J.D van Oort, SCJ tinggal di Tanjungkarang, saat itu Misi Katolik di mulai. Sebelumnya, Tanjungkarang dilayani langsung dari Palembang. Ini merupakan satu dari tiga stasi yang didirikan. Tahun 1926, Pastor van Oort membeli tanah dekat pasar untuk membangun gereja di Lampung. Dalam waktu dekat kemudian sebuah gereja dan paroki baru didirikan untuk pastor yang akan tinggal di sana. Gereja itu tidak lain adalah “Kristus Raja”.

Pada tahun 1929, Pastor van Oort, SCJ memikirkan apa yang dibutuhkan orang-orang Indonesia dan kemudian dibangunlah sebuah sekolah di Teluk Betung, di sebuah tempat pelabuhan dan ibu kota kekuasaan orang Belanda. Ketika Suster-suster Hati Kudus datang di Teluk Betung, Pastor van Oort, SCJ menyerahkan sekolah tersebut kepada mereka pada Oktober 1931.

Pastor H.J.D. van Oort, SCJ memandang ke masa yang akan datang, menghabiskan waktu dan memusatkan perhatian pada wilayah transmigrasi. Dia juga tertarik untuk melayani di tengah-tengah pendatang baru dari Jawa.

Setelah ia memberikan perhatian kepada para tramsmigran Gedongtataan, ia bergerak ke Pringsewu – yakni stasi misi pertama yang dibuka di luar Tanjungkarang. Pada awalnya pada tahun 1932, Pastor A. Hermelink, SCJ yang dipilih  sebagai misionaris untuk membantu  misi di Lampung mulai membangun gereja paroki dan pastoran di Pringsewu. Sejak 24 Mei 1932  dia biasanya tinggal di paroki baru itu. Sebulan kemudian Pastor Neilen, SCJ datang menemaninya tinggal dan kerja di paroki itu.

Di pertengahan tahun, 4 Juni 1932, empat Suster Fransiskan dari St. George Martir dari Thuine kemudian datang di Pringsewu untuk membantu misi di sana. Mereka membuka sekolah pada 11 Juli 1932. Ini merupakan karya pertama mereka di bidang pendidikan.  Sebuah karya yang mendapat tanggapan baik di antara para transmigran Jawa dan para orang Cina di Teluk Betung.

Pada tanggal 1 Februari 1937, stasi misi kedua yang dibuka di luar Tanjungkarang adalah Metro. Tempat ini pertamakali disebut ‘Metropolis’ dan diharapkan menjadi sebuah pusat kota bagi para transmigran di tahun 1934. Misi pertama ditangani oleh Pastor M. Neilen, SCJ; dia adalah imam pertama yang tinggal di Metro. Setahun setelah itu Suster-suster Fransiskan membuka sebuah rumah sakit dengan nama ‘St. Elisabeth’.

Gisting merupakan stasi misi yang ketiga. Di sana ada 80-an orang Katolik sejak 1928 tetapi tidak berkembang disebabkan karena beberapa kesulitan dari orang-orang yang tidak percaya akan Tuhan. Lalu, stasi berikutnya adalah Pasuruan (Kalianda). Pastor Kuypers, SCJ pertamakali melayaninya dilaju dari Tanjungkarang; sejak 1938, Pastor F. Hofstad, SCJ menetap di sana bersama Br. Gerlachus Timmermans, SCJ.

Selama Perang Dunia Kedua, Gereja Lampung dalam keadaan kacau. Pada tanggal 20 Februari 1942, Jepang menguasai Lampung. Kemudian pada bulan April pada tahun yang sama semua imam dan suster ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Menghadapi kesulitan dan situasi kacau ini orang-orang Katolik baru bertekun dalam iman. Mereka tidak takut untuk berdoa bersama di rumah-rumah, sebab gereja-gereja ditutup oleh penguasa Jepang. Maka secara praktis sebenarnya tidak ada gembala sama sekali di Lampung pada waktu itu. Rumah Sakit Katolik di Metro diambil alih oleh Jepang dan gereja digunakan sebagai barak-barak!

Setelah perang, sejak Nopember 1946 umat Katolik Lampung mendapat pelayanan pastoral dari imam-imam pribumi Indonesia dari Jawa. Satu dari mereka adalah Pastor J. Wahyosudibyo, OFM. Walaupun dia tinggal hanya satu bulan, dia melakukan banyak hal untuk perkembangan misi Katolik di Lampung. Di tahun 1947 dia ke Jakarta dan Pastor J.H. Padmoseputro yang diutus oleh Mgr. Sugiyopranoto – Uskup Semarang (Jawa Tengah) - menggantikan misinya di Lampung. Dia mendirikan seminari persiapan dengan lima murid (satu diantara mereka adalah Henrisoesanta – yang sekarang menjadi uskup Tanjungkang).

Tahun 1949, beberapa rumah sakit, paroki dan sekolah dibakar! Pastor paroki bersama dengan semua suster (para postulan dan novis), para seminaris dan anak-anak panti asuhan dievakuasi ke Padang Bulan, Pringsewu. Alasannya: Tentara Belanda  datang dan mencoba  menguasai wilayah Indonesia. Ketika situasi kembali normal, Pastor Padmoseputro kembali ke Jawa.

Setelah Indonesia merdeka, beberapa misionaris mulai memfokuskan aktivitas mereka untuk umat Katolik di luar Teluk Betung dan Tanjungkarang. Pada Juni 1952, gereja Lampung menjadi Apostolic Prefecture dan Pastor A. Hermelink, SCJ dipilih menjadi Prefect. Pertambahan stasi-stasi baru terus berlanjut yakni  Gisting (1955), Kotabumi (1963) Kalirejo dan Panutan (1965), Kotagajah (1967) dan Sidomulyo (1977).

 Peristiwa yang sangat penting bagi Gereja di Lampung adalah berdirinya Hirarki di Indonesia pada tahun 1961. Prefecture Apostolic Tanjungkarang dipisahkan dari Palembang dan menjadi sebuah keuskupan. Pastor A. Hermelink, SCJ diangkat menjadi Uskup pada tanggal 19 Juli 1961. Beliau ditahbiskan sebagai Uskup pertama di Keuskupan Tanjungkarang dan tinggal di Pringsewu. Dari sanalah beliau memimpin  aktivitas pastoral di seluruh keuskupan Tanjungkarang.

Lalu pada tanggal 11 Februari 1976, seorang imam pribumi dari Kongregasi Imam-imam Hati Kudus Yesus (SCJ), berasal dari Metro, yakni Dr. A. Henrisoesanta, SCJ ditahbiskan menjadi Uskup Auxilier bagi Mgr. A. Hermelink, SCJ. Jabatan Uskup Auxilier ini berlangsung selama tiga tahun dan kemudian Bapa Suci mengangkat beliau menjadi Uskup Diocesan pada 21 Desember 1978. Beliau mulai berkantor  pada tanggal 13 Mei 1979 dan sejak itu kemudian Kuria dan Rumah Uskup dipindahkan dan berlokasi di Tanjungkarang hingga sekarang!***