RD. Andreas Sutrisno

Berpastoral:
Usaha Membangun Relasi Hidup
Romo
Sutris, demikian panggilan untuk Rm. Andreas Sutrisno yang menjadi
profil imam kali ini. Ia saat ini bertugas di Paroki Hati Kudus Metro.
Ia lahir di Sriwaylangsep, Kec. Kalirejo, Lampung Tengah pada 22 Juni
1971. Imam diosesan Keuskupan Tanjungkarang ini sebenarnya bukan berasal
dari keluarga Katolik. Ia bersama dua saudara-saudari kandungnya sejak
kecil sudah ikut kegiatan di gereja meskipun belum di baptis. Ekaristi
dan ibadat sabda, misdinar dan Legio Mariae sudah rajin dia ikuti.
Bahkan wulangan (pelajaran agama mingguan) dan sembayangan kring sudah dia ikuti.
Ialah
orang yang pertama kali dibaptis dalam keluarganya ketika masih duduk
di bangku SD kelas 5 (22-12-1984). Kemudian disusul kedua kakaknya
setahun kemudian di Pringsewu dan di Yogyakarta. Kedua orang tuanya baru
dibaptis pada tahun 2000.
Ia
mengaku ketika kecil terselip keinginan untuk menjadi imam, namun hal
itu ia pendam tanpa bercerita kepada siapapun. Angan-angan menjadi
seorang imam mengalami pasang surut, bahkan kabur sama sekali karena
terpengaruh cita-cita hendak menjadi ahli di bidang pertanian atau
keinginan menjadi guru. Hingga pada awal Desember 1992, saat ia kelas
tiga di SMA Xaverius Pringsewu, di gereja diumumkan pendaftaran bagi
calon seminari di Palembang. Ia memberanikan diri menemui Rm.
Ciptaharsaya, SCJ (alm), yang waktu itu adalah pastor paroki Pringsewu.
Rm.
Cip memberikan blangko pendaftaran sekaligus menyarankan untuk
memberitahukan niatnya kepada orang tua. Sutris remaja pun akhirnya
meminta orang tuanya untuk mengisi lembar persetujuan orang tua. Tak
banyak diskusi waktu itu. Ia tidak memberi banyak kesempatan bagi orang
tuanya untuk mempertimbangkan niatnya.
Ayahnya
waktu itu menanyakan, ”kakak dan mbakmu, kami kuliahkan, apakah kamu
tidak iri atau menyesal kalau bapak dan mamak tidak menyekolahkan kamu?”
Dengan cepat ia menjawab “tidak”. Ayahnya akhirnya mengijinkannya
dengan mengatakan, “kalau itu sudah keinginan dan keputusanmu, maka
bapak-mamakmu mendukung saja, silahkan kamu masuk seminari.” Demikian
kenang Rm. Sutris.
Karena
keluarganya dulu bukan Katolik, maka Rm. Sutris dalam keluarga tidak
merasakan suasana didikan iman Katolik. Ia mencari sendiri pendidikan
iman dalam kegiatan gereja. Bersama teman-temannya, ia aktif mengikuti
kegiatan kegerejaan seperti doa lingkungan, pelajaran agama, misdinar
dan Legio Mariae. Pada masa kecilnya, di Paroki Kalirejo masih
dilaksanakan kemah putra-putri altar separoki. Rm. Sutris tak pernah
melewatkan kegiatan tahunan itu.
Rm.
Sutris mengaku bahwa orang tuanya menanamkan pendidikan bagi
anak-anaknya dalam suasana keluarga yang sederhana dan harmonis. Karena
anak-anak memilih mengikuti kegiatan menggereja, maka orang tua tidak
menanamkan nilai-nilai agama yang mereka anut. Nilai-nilai kemanusiaan,
seperti kebaikan dan sopan santun atau budi pekerti, sangat ditekankan
oleh kedua orang tuanya. Hal inilah yang turut membentuk kepribadiannya
saat ini. Hal lain yang ikut mendukung iman dan panggilannya adalah
baptisan yang juga diterima oleh kedua saudaranya. Bahkan semakin
mendapat dukungan iman manakala kedua orang tuanya menerima baptisan
juga.
Romo yang
ditahbiskan di Katedral Tanjungkarang pada 22 Februari 2003 ini
mendapatkan kesan tersendiri dalam pelayanan parokialnya. Kesan umum
yang ia tangkap dari umat tentang imam adalah tugas imam sebagai pelayan
sakramen. Pandangan seperti ini menyebabkan cap negatif ‘malas’
terhadap imam yang tidak memimpin misa tiap hari. Menurutnya, tugas
seorang imam tidak boleh dipersempit hanya pada pelayanan sakramental.
Imam juga sepenuhnya harus memperhatikan bidang pelayanan yang lebih
luas, seperti berkatekese guna meningkatkan pengetahuan iman umat.
“Pengalaman
selama ini dengan mengadakan kunjungan dalam kelompok-kelompok kecil ,
banyak hal kerinduan, harapan dan keinginan umat yang diungkapkan.
Sebenarnya umat membutuh kebersamaan yang nyata dan konkrit dengan
romonya; menjadi teman seperjalanan dalam hidup dalam menghayati iman.
Sehingga kalau dekat dengan romonya, mau bicara sekedar ngobrol atau
berkeluh kesah ada suasanya yang nyaman. Karena tidak dalam suasana yang
kaku, sehingga tidak ada lagi pendapat umum atau kesan umat bahwa umat
datang kepada romo hanya kalau ada masalah.” Demikian papar Rm. Sutris.
Ia
menandaskan bahwa pastoral parokial bukanlah semata menjalankan program
dan melayani sakramen saja. Hal ini bukan berarti bahwa program
pelayanan dan pelayanan sakramental tidak penting. Kebersamaan perlu
dibangun antara imam dengan umat. Dengan komunikasi bersama, maka
pelayanan sakramental dan pelaksanaan program pelayanan di paroki akan
memiliki dasar yang kuat serta tercapai tujuan agar iman umat semakin
mendalam. Inilah yang disebutnya sebagai perayaan iman baik dalam
sakramen, maupun dalam hidup bersama. Dengan paham perayaan iman, orang
tidak akan merasa terpaksa dalam mengikuti kegiatan apapun.
Akhir-akhir
ini sudah dimunculkan rencana untuk mengadakan Pertemuan pastoral
gereja partikular (Perpasgelar/sinode keuskupan). Hal pertama yang
dilakukan adalah melihat kembali visi-misi keuskupan yang diperbaharui
hampir sepuluh tahun yang lalu.
Rm.
Sutris menyitir kata-kata Bapa Uskup saat khotbah pembukaan Perpasgelar
II, pada 19 Agustus 2002, “… Pastoral itu usaha membangun relasi hidup.
Hidup manusia itu bukan obyek, melainkakan subyek. Kita diharapakan
peka terhadap kehidupan.” Menurut Rm. Sutris, ungkapan Bapa Uskup
tentang pastoral ini begitu luas dan umum, serta tidak mudah dipahami.
Ia memaklumi kalau ada penilaian bahwa pastoral keuskupan Tanjungkarang
tidak jelas.
“Kalau
kita memahami pastoral itu lebih sebagai kegiatan atau program, kita
akan kesulitan untuk memahami visi-misa keuskupan Tanjukarang. Karena
visi-misi keuskupan Tanjukarang bukanlah seperangkat program-program
kerja yang siap pakai. Namun visi-misi keukupan kita berupa suatu
pegangan/pedoman yang menjadikan kerangka pikir, kerangka tindak/berbuat
dan pendekatan dalam melayani umat. Ini tidak gampang untuk di
mengerti. Sehingga benar kalau ada romo atau umat sampai sekarang sulit
untuk paham betul mengenai visi-misa keuskupan kita. Hal ini kemudian
menyebabkan ada kesan bahwa visi-misi keuskupan hanya dimengerti oleh
uskup saja”, Paparnya.
Rm.
Sutris mengungkapkan bahwa pastoral di keuskupan ini harus dipahami
sebagai peziarahan menuju Sang Pastor sejati, yakni Kristus sendiri.
Karena peziarahan, maka harus diisi dengan usaha berjalan bersama. Semua
orang beriman adalah subyek pelaku yang sedang berziarah menuju
Kristus. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana peziarahan itu
diisi dan dihayati dalam kebersamaan. Dengan pertanyaan inilah maka
kemudian akan dipahami bahwa pastoral menjadi suatu usaha untuk
membangun relasi hidup.
Kerangka
pikir inilah yang disebut Rm. Sutris sebagai paradigma yang harus
dijabarkan dengan melihat situasi-kondisi setempat agar dapat membangun
relasi hidup yang benar. Menurutnya, membangun relasi hidup dengan
Tuhan, sesama dan dunia harus dijiwai oleh semangat keterbukaan, dialog,
memasyarakat dan menghargai nilai-nilai kebaikan yang berkembang dalam
kehidupan.
Pastoral
tetaplah membutuhkan kehadiran imam, namun bukan sekedar dalam pelayanan
sakramental di gedung gereja. Kehadiran imam ada dalam kebersamaan
dengan seluruh umat. Imam bertindak dalam kebersamaan itu untuk
menuntun, merangkul dan mendorong agar peziarahan mencapai tujuan
bersama. Menurut pengalaman Rm. Sutris, kerinduan dan harapan umat
justru banyak diungkapkan saat duduk bersama dalam suasana informal.
Pada kunjungan kelompok kecil akan tercipta suasana kekeluargaan yang
rileks sehingga akan tercipta pula komunikasi dari hati ke hati.
Siatuasi ini bisa didapatkan dalam suasana makan bersama atau kesempatan
ketika menginap di rumah umat. Dari komunikasi yang sangat manusiawi
inilah akan didapat inti harapan umat sehingga program kegiatan dapat
dibuat untuk menjawab kerinduan itu dengan tetap berdasar pada visi-misi
keuskupan.
Rencana
Perpasgelar ketiga sudah gencar di kalangan imam di keuskupan ini. Rm.
Sutris menjelaskan bahwa persiapan Perpasgelar dilakukan secara
bertahap. Tahap pertama dilaksanakan untuk melihat sejauh mana para imam
yang berkarya di keuskupan ini sudah memahami kasih atau semangat dalam
perpasgelar II (2002). Konveniat atau pertemuan imam sekeuskupan akan
dipakai untuk persiapan ini. Pada konveniat bulan Juni yang lalu sudah
dipakai untuk melihat pastoral yang dilaksanakan di paroki Kedaton, Kota
Bumi dan Baradatu. Rm. Sutris sendiri tidak mengikuti konveniat itu
karena sedang cuti. Namun menurut informasi yang diperolehnya, pemaparan
pastoral belum mencerminkan pastoral sebagai hasil perpasgelar II.
Bahkan ada romo yang menilai seperti kembali ke masa dulu ketika masa
Rencana Kerja Pastoral Keuskupan (RKPK) karena bicara soal program yang
dilaksanakan.
Rm.
Sutris mengakui bahwa kebanyakan yang berkarya di keuskupan
Tanjungkarang saat ini adalah imam muda yang tidak mengalami proses
Perpasgelar II. Ada dokumen tentang Perpasgelar II, namun diakuinya
tidak mudah dipahami. Menurutnya, untuk mengerti dan memahami
dokumen-dokumen perpasgelar II tidak mudah, apalagi menjalankannya dalam
pastoral di paroki.
Rm.
Sutris mengungkapkan bahwa Tim Perpasgelar III harus mendengarkan
pengalaman pastoral semua romo yang berkarya di keuskupan Tanjungkarang.
Misalnya, semua romo membuat releksi dan saat konveniat menjelaskannya
di hadapan semua romo. Atau bisa juga dengan mewawancarai tiap romo.
Dengan cara inilah tim akan mendapatkan gambaran yang kurang lebih
lengkap tentang situasi pastoral di keuskupan ini dan kemudian baru
disusun langkah-langkahnya.
“Pernah
ada romo senior yang berbagi pengalaman; perpasgelar untuk keuskupan
sebenarnya lebih cokok kalau untuk para romo saja. Umat tidak perlu
diikutkan, karena kalau para romonya sudah tahu betul mengenai
semangat/roh dari perpasgelar II, nantinya romo itu yang akan
ber-perpasgelar di parokinya dengan umat. Mungkin baik juga kalau usulan
ini di pertimbangkan oleh tim perpasgelar III. Jadi perpasgelar III
hanya untuk para romo saja.” Demikian usul Rm. Sutris.
Salah
satu langkah dalam berpastoral adalah usaha untuk melihat wajah kristus
dalam kebersamaan hidup bermasyarakat. Hal ini dapat disebut sebagai
usaha untuk melihat konteks pastoral dalam masyarakat sehingga mampu
menawarkan cinta Kristus di dalamnya. Poin persaudaraan sejati dan
memasyarakat dari hasil perpasgelar mengarah dalam konteks menemukan dan
menampilkan wajah Kristus dalam kebersamaan masyarakat.
Dalam
hal ini Rm. Sutris mengungkapkan, “Dari informasi atau menyaksikan
sendiri, sebenarnya banyak umat Katolik yang sudah berusaha untuk
membangun persaudaraan sejati dengan masyarakan. Persaudaraan dengan
orang beragama lain, bisa terbentuk kalau ada keprihatinan yang sama,
contoh tentang ekonomi. Dari keprihatinan ini: 1) terbentuk kopdit atau
juga UB (usaha bersama) simpan-pinjam uang. Di keuskupan kita ini, harus
diakui bahwa kopdit /UB yang dikelola oleh orang katolik masih di
percaya oleh masyarakat. Orang dari berbagai latar belakang budaya dan
agama bisa bersatu-bersaudara. Mereka tidak mempersoalkan agama, tapi
mereka mempersoalan kesejahteraan hidup. Disini ada dialog hidup, relasi
yang hidup dan menghidupkan. 2) kelompok tani, di Metro ada kelompok
tani yang disponsori oleh orang katolik. Kelompok ini sudah ada cukup
lama, tapi masih eksis, bahkan asetnya kalau ditotal bisa ratusan juta.
Kelompok ini bersifat lintas agama. Disini orang dapat hidup bersama,
untuk membangun pertanian yang baik. Dari kelompok ini ada sebagian
anggotanya sedang mengembangan pertanian organik. Pertanian organik juga
bisa menjadi sarana membangun persaudaraan sejati,” demikian paparnya.
Baru-baru
ini Rm. Sutris ikut dalam pertemuan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan yang
diprakarsai oleh bagian Justice and Peace, Keukupan Tanjungkarang. Rm.
Sutris berpendapat, “Prinsip aksi tanpa kekerasan, menurut saya bukan
sekedar berlaku tapi justru harus menjadi semangat atau spirituaslitas
iman kita. Yesus sendiri adalah tokoh aksi tanpa kekerasan. Dalam
ajaranya tentang menampar pipi, disitu terkandung semangat aksi tanpa
kekerasan.”
Tidaklah
mudah untuk membangun semangat aksi tanpa kekerasan. Rm. Sutris
menegaskan bahwa sikap dasarnya adalah semangat mengampuni. Yesus
sendiri mengatakan bahwa kita harus mengapuni sebanyak tujuhpuluh kali
tujuh kali, artinya mengampuni tanpa batas. Yesus sendiri memberi
teladan dengan mengampuni orang-orang yang telah menyalibkan-Nya, “
Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan”
(Luk 23:34). ***(Jokunti)
No comments:
Post a Comment
komen ya""""