Wednesday, October 17, 2012

RD. Andreas Sutrisno


Berpastoral:
Usaha Membangun Relasi Hidup
Romo Sutris, demikian panggilan untuk Rm. Andreas Sutrisno yang menjadi profil imam kali ini. Ia saat ini bertugas di Paroki Hati Kudus Metro. Ia lahir di Sriwaylangsep, Kec. Kalirejo, Lampung Tengah pada 22 Juni 1971. Imam diosesan Keuskupan Tanjungkarang ini sebenarnya bukan berasal dari keluarga Katolik. Ia bersama dua saudara-saudari kandungnya sejak kecil sudah ikut kegiatan di gereja meskipun belum di baptis. Ekaristi dan ibadat sabda, misdinar dan Legio Mariae sudah rajin dia ikuti. Bahkan wulangan (pelajaran agama mingguan) dan sembayangan kring sudah dia ikuti.
Ialah orang yang pertama kali dibaptis dalam keluarganya ketika masih duduk di bangku SD kelas 5 (22-12-1984). Kemudian disusul kedua kakaknya setahun kemudian di Pringsewu dan di Yogyakarta. Kedua orang tuanya baru dibaptis pada tahun 2000.
Ia mengaku ketika kecil terselip keinginan untuk menjadi imam, namun hal itu ia pendam tanpa bercerita kepada siapapun. Angan-angan menjadi seorang imam mengalami pasang surut, bahkan kabur sama sekali karena terpengaruh cita-cita hendak menjadi ahli di bidang pertanian atau keinginan menjadi guru. Hingga pada awal Desember 1992, saat ia kelas tiga di SMA Xaverius Pringsewu, di gereja diumumkan pendaftaran bagi calon seminari di Palembang. Ia memberanikan diri menemui Rm. Ciptaharsaya, SCJ (alm), yang waktu itu adalah pastor paroki Pringsewu.
Rm. Cip memberikan blangko pendaftaran sekaligus menyarankan untuk memberitahukan niatnya kepada orang tua. Sutris remaja pun akhirnya meminta orang tuanya untuk mengisi lembar persetujuan orang tua. Tak banyak diskusi waktu itu. Ia tidak memberi banyak kesempatan bagi orang tuanya untuk mempertimbangkan niatnya.
Ayahnya waktu itu menanyakan, ”kakak dan mbakmu, kami kuliahkan, apakah kamu tidak iri atau menyesal kalau bapak dan mamak tidak menyekolahkan kamu?” Dengan cepat ia menjawab “tidak”. Ayahnya akhirnya mengijinkannya dengan mengatakan, “kalau itu sudah keinginan dan keputusanmu, maka bapak-mamakmu  mendukung saja, silahkan kamu masuk seminari.” Demikian kenang Rm. Sutris.
Karena keluarganya dulu bukan Katolik, maka Rm. Sutris dalam keluarga tidak merasakan suasana didikan iman Katolik. Ia mencari sendiri pendidikan iman dalam kegiatan gereja. Bersama teman-temannya, ia aktif mengikuti kegiatan kegerejaan seperti doa lingkungan, pelajaran agama, misdinar dan Legio Mariae. Pada masa kecilnya, di Paroki Kalirejo masih dilaksanakan kemah putra-putri altar separoki. Rm. Sutris tak pernah melewatkan kegiatan tahunan itu.
Rm. Sutris mengaku bahwa orang tuanya menanamkan pendidikan bagi anak-anaknya dalam suasana keluarga yang sederhana dan harmonis. Karena anak-anak memilih mengikuti kegiatan menggereja, maka orang tua tidak menanamkan nilai-nilai agama yang mereka anut. Nilai-nilai kemanusiaan, seperti kebaikan dan sopan santun atau budi pekerti, sangat ditekankan oleh kedua orang tuanya. Hal inilah yang turut membentuk kepribadiannya saat ini. Hal lain yang ikut mendukung iman dan panggilannya adalah baptisan yang juga diterima oleh kedua saudaranya. Bahkan semakin mendapat dukungan iman manakala kedua orang tuanya menerima baptisan juga.
Romo yang ditahbiskan di Katedral Tanjungkarang pada 22 Februari 2003 ini mendapatkan kesan tersendiri dalam pelayanan parokialnya. Kesan umum yang ia tangkap dari umat tentang imam adalah tugas imam sebagai pelayan sakramen. Pandangan seperti ini menyebabkan cap negatif ‘malas’ terhadap imam yang tidak memimpin misa tiap hari. Menurutnya, tugas seorang imam tidak boleh dipersempit hanya pada pelayanan sakramental. Imam juga sepenuhnya harus memperhatikan bidang pelayanan yang lebih luas, seperti berkatekese guna meningkatkan pengetahuan iman umat.
“Pengalaman selama ini dengan mengadakan kunjungan dalam kelompok-kelompok kecil , banyak hal  kerinduan, harapan dan keinginan umat yang diungkapkan. Sebenarnya umat membutuh kebersamaan yang nyata dan konkrit dengan romonya; menjadi teman seperjalanan dalam hidup dalam menghayati iman. Sehingga kalau dekat dengan romonya, mau bicara sekedar ngobrol atau berkeluh kesah ada suasanya yang nyaman. Karena tidak dalam suasana yang kaku, sehingga tidak ada lagi pendapat umum atau kesan umat bahwa umat datang kepada romo hanya kalau ada masalah.” Demikian papar Rm. Sutris.
Ia menandaskan bahwa pastoral parokial bukanlah semata menjalankan program dan melayani sakramen saja. Hal ini bukan berarti bahwa program pelayanan dan pelayanan sakramental tidak penting. Kebersamaan perlu dibangun antara imam dengan umat. Dengan komunikasi bersama, maka pelayanan sakramental dan pelaksanaan program pelayanan di paroki akan memiliki dasar yang kuat serta tercapai tujuan agar iman umat semakin mendalam. Inilah yang disebutnya sebagai perayaan iman baik dalam sakramen, maupun dalam hidup bersama. Dengan paham perayaan iman, orang tidak akan merasa terpaksa dalam mengikuti kegiatan apapun.
Akhir-akhir ini sudah dimunculkan rencana untuk mengadakan Pertemuan pastoral gereja partikular (Perpasgelar/sinode keuskupan). Hal pertama yang dilakukan adalah melihat kembali visi-misi keuskupan yang diperbaharui hampir sepuluh tahun yang lalu.
Rm. Sutris menyitir kata-kata Bapa Uskup saat khotbah pembukaan Perpasgelar II, pada 19 Agustus 2002, “… Pastoral itu usaha membangun relasi hidup. Hidup manusia itu bukan obyek, melainkakan subyek. Kita diharapakan peka terhadap kehidupan.” Menurut Rm. Sutris, ungkapan Bapa Uskup tentang pastoral ini begitu luas dan umum, serta tidak mudah dipahami. Ia memaklumi kalau ada penilaian bahwa pastoral keuskupan Tanjungkarang tidak jelas.
“Kalau kita memahami pastoral itu lebih sebagai kegiatan atau program, kita akan kesulitan untuk memahami visi-misa keuskupan Tanjukarang. Karena visi-misi keuskupan  Tanjukarang bukanlah seperangkat program-program kerja yang siap pakai. Namun visi-misi keukupan kita berupa suatu pegangan/pedoman yang menjadikan kerangka pikir, kerangka tindak/berbuat dan pendekatan dalam melayani umat. Ini tidak gampang untuk di mengerti. Sehingga benar kalau ada romo atau umat sampai sekarang sulit untuk paham betul mengenai visi-misa keuskupan kita. Hal ini kemudian menyebabkan ada kesan bahwa visi-misi keuskupan hanya dimengerti oleh uskup saja”, Paparnya.
Rm. Sutris mengungkapkan bahwa pastoral di keuskupan ini harus dipahami sebagai peziarahan menuju Sang Pastor sejati, yakni Kristus sendiri. Karena peziarahan, maka harus diisi dengan usaha berjalan bersama. Semua orang beriman adalah subyek pelaku yang sedang berziarah menuju Kristus. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana peziarahan itu diisi dan dihayati dalam kebersamaan. Dengan pertanyaan inilah maka kemudian akan dipahami bahwa pastoral menjadi suatu usaha untuk membangun relasi hidup.
Kerangka pikir inilah yang disebut Rm. Sutris sebagai paradigma yang harus dijabarkan dengan melihat situasi-kondisi setempat agar dapat membangun relasi hidup yang benar. Menurutnya, membangun relasi hidup dengan Tuhan, sesama dan dunia harus dijiwai oleh semangat keterbukaan, dialog, memasyarakat dan menghargai nilai-nilai kebaikan yang berkembang dalam kehidupan.
Pastoral tetaplah membutuhkan kehadiran imam, namun bukan sekedar dalam pelayanan sakramental di gedung gereja. Kehadiran imam ada dalam kebersamaan dengan seluruh umat. Imam bertindak dalam kebersamaan itu untuk menuntun, merangkul dan mendorong agar peziarahan mencapai tujuan bersama. Menurut pengalaman Rm. Sutris, kerinduan dan harapan umat justru banyak diungkapkan  saat duduk bersama dalam suasana informal. Pada kunjungan kelompok kecil akan tercipta suasana kekeluargaan yang rileks sehingga akan tercipta pula komunikasi dari hati ke hati. Siatuasi ini bisa didapatkan dalam suasana makan bersama atau kesempatan ketika menginap di rumah umat. Dari komunikasi yang sangat manusiawi inilah akan didapat inti harapan umat sehingga program kegiatan dapat dibuat untuk menjawab kerinduan itu dengan tetap berdasar pada visi-misi keuskupan.
Rencana Perpasgelar ketiga sudah gencar di kalangan imam di keuskupan ini. Rm. Sutris menjelaskan bahwa persiapan Perpasgelar dilakukan secara bertahap. Tahap pertama dilaksanakan untuk melihat sejauh mana para imam yang berkarya di keuskupan ini sudah memahami kasih atau semangat dalam perpasgelar II (2002). Konveniat atau pertemuan imam sekeuskupan akan dipakai untuk persiapan ini. Pada konveniat bulan Juni yang lalu sudah dipakai untuk melihat pastoral yang dilaksanakan di paroki Kedaton, Kota Bumi dan Baradatu. Rm. Sutris sendiri tidak mengikuti konveniat itu karena sedang cuti. Namun menurut informasi yang diperolehnya, pemaparan pastoral belum mencerminkan pastoral sebagai hasil perpasgelar II. Bahkan ada romo yang menilai seperti kembali ke masa dulu ketika masa Rencana Kerja Pastoral Keuskupan (RKPK) karena bicara soal program yang dilaksanakan.
Rm. Sutris mengakui bahwa kebanyakan yang berkarya di keuskupan Tanjungkarang saat ini adalah imam muda yang tidak mengalami proses Perpasgelar II. Ada dokumen tentang Perpasgelar II, namun diakuinya tidak mudah dipahami. Menurutnya, untuk mengerti dan memahami dokumen-dokumen perpasgelar II tidak mudah, apalagi menjalankannya dalam pastoral di paroki.
Rm. Sutris mengungkapkan bahwa Tim Perpasgelar III harus mendengarkan pengalaman pastoral semua romo yang berkarya di keuskupan Tanjungkarang. Misalnya, semua romo membuat releksi dan saat konveniat menjelaskannya di hadapan semua romo. Atau bisa juga dengan mewawancarai tiap romo. Dengan cara inilah tim akan mendapatkan gambaran yang kurang lebih lengkap tentang situasi pastoral di keuskupan ini dan kemudian baru disusun langkah-langkahnya.
“Pernah ada romo senior yang berbagi pengalaman; perpasgelar untuk keuskupan sebenarnya lebih cokok kalau untuk para romo saja. Umat tidak perlu diikutkan, karena kalau para romonya sudah tahu betul mengenai semangat/roh dari perpasgelar II, nantinya romo itu yang akan ber-perpasgelar di parokinya dengan umat. Mungkin baik juga kalau usulan ini di pertimbangkan oleh tim perpasgelar III. Jadi perpasgelar III hanya untuk para romo saja.” Demikian usul Rm. Sutris.
Salah satu langkah dalam berpastoral adalah usaha untuk melihat wajah kristus dalam kebersamaan hidup bermasyarakat. Hal ini dapat disebut sebagai usaha untuk melihat konteks pastoral dalam masyarakat sehingga mampu menawarkan cinta Kristus di dalamnya. Poin persaudaraan sejati dan memasyarakat dari hasil perpasgelar mengarah dalam konteks menemukan dan menampilkan wajah Kristus dalam kebersamaan masyarakat.
Dalam hal ini Rm. Sutris mengungkapkan,  “Dari informasi atau menyaksikan sendiri, sebenarnya banyak umat Katolik yang sudah berusaha untuk membangun persaudaraan sejati dengan masyarakan.  Persaudaraan dengan orang beragama lain, bisa terbentuk kalau ada keprihatinan yang sama, contoh tentang ekonomi. Dari keprihatinan ini: 1) terbentuk kopdit atau juga UB (usaha bersama) simpan-pinjam uang. Di keuskupan kita ini, harus diakui bahwa kopdit /UB yang dikelola oleh orang katolik masih di percaya oleh masyarakat. Orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama bisa bersatu-bersaudara. Mereka tidak mempersoalkan agama, tapi mereka mempersoalan kesejahteraan hidup. Disini ada dialog hidup, relasi yang hidup dan menghidupkan. 2) kelompok tani, di Metro ada kelompok tani yang disponsori oleh orang katolik. Kelompok ini sudah ada cukup lama, tapi masih eksis, bahkan asetnya kalau ditotal bisa ratusan juta. Kelompok ini bersifat lintas agama. Disini orang dapat hidup bersama, untuk membangun pertanian yang baik. Dari kelompok ini ada sebagian anggotanya sedang mengembangan pertanian organik. Pertanian organik juga bisa menjadi sarana membangun persaudaraan sejati,” demikian paparnya.
Baru-baru ini Rm. Sutris ikut dalam pertemuan Gerakan Aktif Tanpa Kekerasan yang diprakarsai oleh bagian Justice and Peace, Keukupan Tanjungkarang.  Rm. Sutris berpendapat, “Prinsip aksi tanpa kekerasan, menurut saya bukan sekedar berlaku tapi justru  harus menjadi semangat atau spirituaslitas iman kita. Yesus sendiri adalah tokoh aksi tanpa kekerasan. Dalam ajaranya tentang menampar pipi, disitu terkandung semangat aksi tanpa kekerasan.”
Tidaklah mudah untuk membangun semangat aksi tanpa kekerasan. Rm. Sutris menegaskan bahwa sikap dasarnya adalah semangat mengampuni. Yesus sendiri mengatakan bahwa kita harus mengapuni sebanyak tujuhpuluh kali tujuh kali, artinya mengampuni tanpa batas. Yesus sendiri memberi teladan dengan mengampuni orang-orang yang telah menyalibkan-Nya, “ Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan” (Luk 23:34). ***(Jokunti)

No comments:

Post a Comment

komen ya""""